Kamis, 10 April 2008

Selasa, 29 Januari 2008

Suguhan Seni Tradisional bagi Wisatawan Asing
(sebuah tanggapan)

oleh Ahmad Suyudi



PADA Harian Jayakarta edisi Kamis, 10 Januari 1991 dimuat tulisan opini berjudul: “Sisi Lain VIY 1991 Wisata Seks Berkembang Kejahatan Meningkat”, ditulis oleh Saudara Ramelan, alumni FISIP jurusan Sosiologi, Universitas Sudirman Purwokerto.
Pada tulisan itu—kalau saya tidak salah memahaminya—ada semacam rasa khawatir dari penulis terhadap adanya pemanfaatan seni tradisional untuk disuguhkan kepada wisatawan asing. Alasannya, seni tradisional selain merupakan ekspresi estetis masyarakatnya juga mempunyai nilai transendental. Sehingga seni tradisional seperti upacara adat misalnya, tidak etis apabila diipertontonkan kepada wisatawan asing, apalagi sekedar untuk mengeruk uang dari kantong mereka.

Usaha Positif

Sebenarnya usaha memanfaatkan—kalau tidak mau dikatakan mengeksploitir—seni budaya tradisional merupakan suatu langkah kita yang tepat untuk memberikan suguhan kepada wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia. Kalau kita mau menyadari, pada umumnya tujuan wisatawan adalah berekreasi, atau melakuikan refresing (penyegaran kembali) jiwa yang telah jenuh oleh rutinitas keseharian mereka. Para wisatawan asing biasanya ingin mencari semacam kepuasan batiniah yang tidak pernah mereka dapatkan dalam lingkungan mereka tinggal.
Tentu mereka ingin mendapatkan segala macam presentasi yang dapat memuaskan batin. Barangkali wisatawan dari mancanegara (wisman) cenderung lebih menyukai suguhan sesuatu yang unik, tipikal, dan sekaligus indah. Maka di samping keindahan alam yang dengan sendirinya juga telah unik, nampaknya perlu kita menyuguhkan kepada mereka keindahan seni budaya tradisional. Barangkali seni tradisional akan dapat lebih memikat mereka, selain juga dapat menimbulkan suatu kesan atau kenangan tersendiri di hati mereka. Bukankah penciptaan kesan dan kenangan seperti ini merupakan satu pelaksanaan dari unsur terakhir Sapta Pesona Sadar Wisata, yang pernah dicanangkan pemerintah dalam rangka penyuksesan Tahun Kunjungan Wisata Indonesia.
Suguhan tari-tarian atau musik-musik etnik-tradisional yang unik dan tipikal tentunya lebih kuat menciptakan pengalaman dan kenangan yang baru dan berkesan bagi mereka, ketimbang suguhan berupa tarian dan musik a la Barat yang sudah pasti tidak asing dan aneh bagi mereka. Dengan harapan para wisatawan akan betah dan kerasan berada di Indonesia, langkah positif ini akan terasa lebih tepat sebagai upaya meningkatkan potensi kesenian tradisional kita. Jika kita mau melihat kenyataan, dewasa ini banyak sekali bentukibentuk usaha bisnis entertainment yang diselenggarakan oleh hotel dan restoran-restoran besar maupun cafe dan nightclub kebanyakan berupa hiburan seni a la Barat. Bahkan tidak segan-segan mereka bersaing mendatangkan kelompok-kelompok seni dari luar negeri.
Kecenderungan seperti ini memperlihatkan kepada kita keterjebakan para penyelenggaran hiburan oleh budaya asing yang memang sedang menjadi trend. Dan yang lebih memperparah lagi, budaya yang tengah trendy itu kebanyakan impor dari Barat. Implikasi, tidak aneh apabila kemudian suguhan hiburan yang ada justru kadang kurang mencerminkan kepribadian bangsa yang sebenarnya.
Nah, di sini kita dihadapkan kepada dua alternatif: hendak menggunakan unsur budaya luar (asing) dengan konsekuensi yang dapat diperkirakan atau unsur kebudayaan milik kita sendiri untuk menyuguhi tamu-tamu kita itu.
Fenomena seperti digambarkan di atas tadi-lah antara lain yang menjadi alasan perlunya langkah strategis kita dalam upaya pemanfaatan unsur-unsur budaya tradisional sebagai penunjang keberhasilan program peningkatan potensi pariwisata yang pada ujung muaranya adalah meningkatkan hasil devisa negara. Jika langkah strategis seperti itu dapat kita lakukan, seni tradisional bahkan bisa menjadi ases tersendiri bagi negara. Ia merupakan potensi yang sangat besar sebagai penunjang pembangunan nasional.
Coba kita mulai berhitung sekarang. Berapa banyak jumlah dan jenisnya kesenian tradisonal kita. Puluhan, ratusan, bahkan ribuan jenis kesenian tradisi yang masih hidup serta memiliki potensi untuk diolah dan disusuguhkan kepada para wisatawan asing. Tidak dapat dipungkiri bahwa hampir di setiap daerah setingkat kabupaten atau kecamatan bahkan desa/kelurahan di seluruh wilayah negeri ini memiliki suatu kesenian yang hidup dan menjadi tradisi bagi masyarakatnya. Seandainya saja setiap hotel, losmen, penginapan atau restoran dan café serta tempat-tempat obyek wisata dapat menjadi ajang bagi pertunjukan kesenian di daerah lingkungan tempatnya berada, berapa banyak jumlah kesenian tradisional yang dapat dikerahkan potensinya? Kalau saja setiap wisatawan asing yang berkunjung ke suatu daerah dapat menikmati segala macam bentuk seni budaya di daerah tersebut, berapa banyak kesenian daerah akan ditonton dan dinikmati keindahannya oleh para tamu dari negeri-negeri itu? Dan jangan dilupakan, selain dapat memperkenalkan kepada para tamu-tamu asing akan keindahan karya budaya masyarakat kita, seperti yang diungkapkan juga oleh Saudara Ramelan dapat menunjang terciptanya iklim berkesenian yang lebih baik di Indonesia.

Bukan Baru

Sebenarnya usaha memperkenalkan identitas dan eksistensi bangsa melalui kesenian tradisional telah berlangsung sejak lama, jauh sebelum program pasriwisata nasional digembar-gemborkan. Beberapa jenis kesenian tradisional yang telah menjadi unsur dari kebudayaan nasional dikirim ke mancanegara disodorkan kepada orang asing, baik sebagai program pertukaran kebudayaan maupun program promosi pariwisata seperti Pameran KIAS yang diselenggarakan di Amerika Serikat beberapa waktu lalu.
Sekarang yang menjadi masalah, unsur kebudayaan daerah tradisional manakah yang layak disuguhkan—kalau tidak mau dikatakan dijual—kepada para wisatawan mancanegara. Kalau upacara adat yang selain mempunyai fungsi ekspresi estetis masyarakat juga merupakan gerak dan wujud simbolisasi dari nilai-nilai transendental, yang secara umum dapat dikategorikan sebagai prilaku relijius, dianggap tidak etis untuk dipertontonkan, toh kegiatan upacara adat semacam itu tetap diselenggarakan pada waktu dan tempat yang telah tertentu (senada dengan pendapat yang pernah ditulis dalam Tajuk Rencana harian ini: pen.) Artinya mau ditonton maupun tidak oleh para wisaatawan asing sebenarnya tidak pernah menjadi masalah terhadap keberlangsungan upacara adat tersebut, sejauh para individu (masyarakat) yang melakukan perayaan itu masih mempunyai motivasi dan kesadaran relijius dalam melaksanakannya. Sebagai contoh, perayaan Waisyak bagi umat Budha yang dilaksanakan tepat pada malam bulan purnama setiap tahunnya (pada beberapa tahun ini selalu jatuh pada bulan Mei-pen) di Candi Mendut dan Borobudur, juga perayaan Grebeg Sekaten di Yogyakarta, dari dulu hingga kini selalu diramaikan oleh para pengunjung yang notabene tidak secara langsung ikut melaksanakan kegiatan upacara adat tersebut, hanya sekadar sebagai penonton. Toh sampai sekarang upacara-upacara adat tradisi keagamaan tersebut tetap berlangsung.
Memang pada akhirnya kita pun menyadari, agar dapat mencapai target yang telah ditetapkan mau tidak mau kita harus mampu mengerahkan segala daya upaya dan potensi yang ada. Tentu saja prioritas kepada potensi yang lebih menjanjikan keuntungan baik moral maupun material harus dilakukan. Artinya, harus diadakan perhitungan sebelumnya. Pengerahan potensi mana yang dapat menimbulkan kerugian pada kita, harus ditinggalkan.
Kalau gagasan pemanfaatan unsur seni tradisional dapat dilaksanakan, maka kerjasama dan koordinasi antara pihak-pihak terkait yang mengurusi seni budaya daerah dan pihak dinas pariwisata daerah serta para pengusaha perhotelan, pengelola obyek-obyek wisata, restoran, dan semua yang terkait dengan kepariwisataan, seyogyannya perlu dilakukan. Koordinasi dan kerjasama perlu dilakukan untuk mengadakan seleksi dan evaluasi terhadap jenis-jenis kesenian tradisional yang layak untuk diangkat sebagai suguhan dalam kegiatan program pariwisata, serta melaksanakan perekrutannya.
Adanya penilaian dan seleksi terhadap kesenian tradisional yang bakal ditampilkan kepada para wisatawan tentu akan membawa dampak yang baik bagi perkembangan dan peningkatan kualitas kesenian tradisional itu sendiri. Usaha nyata seperti inilah yang mampu menciptakan iklim berkesenian yang lebih baik bagi peningkatan daya cipta dan kreasi masyarakat dalam pengembangan kesenian daerah. Dampak lain yang dapat ditimbulkan oleh upaya pengangkatan kesenian daerah untuk disuguhkan kepada wisatawan, misalnya antar para pekumpulan kesenian yang ada dapat terjadi persaingan yang kompetitif, serta dapat memacu kreativitas seniman dan para pekerja seni di daerah. Semoga!

Harian Jayakarta, 16 Januari 1991

***
*Penulis adalah mahasiswa FPBS IKIP Jakarta